Senin, 19 Juli 2010

The Power of Goban

SALE mungkin istilah ini ga ada yang ga kenal. Dari anak kecil sampai orang yang sudah berumur (apalagi). Dari orang dengan latar belakang sosial, ekonomi pastilah paham dengan kata yang satu ini. Dan terus terang, buat saya pribadi, ketika mendengar kata ini pasti adrenalinnya naik (ya layaknya orang yang sedang naik gunung, ngebut-ngebutan di jalanan atau nyebrang di jalan tol – waaaakss.. yang ini bukan bikin adrenalin meningkat lagi, tp emang orang kurang kerjaan aja dan ga bisa ngehargain hidup).

Tapi tilik saja, tidak hanya di kota-kota besar, dimanapun yang namanya sale pasti mengundang banyak orang. Entah itu memang benar kalau harganya memang didiskon sesuai dengan harga awalnya atau seperti rahasia umum yang sudah beredar di masyarakat kalo di acara-acara sale macam itu harganya dinaikin dulu baru didiskon harganya. Wallahualam.

Ambillah contoh event-event yang digelar secara rutin seperti misalnya … Big Sale (merujuk pada salah satu department store terkemuka di kota-kota besar), Jakarta Great Sale, (yang katanya diadakan untuk dapat mampu menyaingi negara tetangga), atau yang saat ini sedang happening yaitu Late Night Sale. Jangan salah mengira lho kalau Late Night Sale itu sepi pengunjung karena acaranya diadakan di malam hari. Justru yang terjadi adalah sebalikannya. Ada salah seorang expatriate yang saya kenal dan waktu diadakannya late night shopping itu beliau iseng untuk mengunjunginya. Tempatnya saat itu di salah satu mall besar di daerah Senayan. Dan guess what, dia harus rela turun dari taksi dan berjalan lumayan jauh dari Sudirman ke Senayan hanya karena maceeeeettttttt antrian kendaraan yang mau antri masuk ke mal tsb dan akhirnya beliau berkata, ”This is the first and the last time”. Atau misalnya fenomena antrian sandal karet impor yang mengular sampai beberapa lantai. Padahal siy kalau dilihat kembali, harganya juga ga murah-murah amat. Takjub, hanya itu satu kata yang bisa diungkapkan.

Hal ini juga yang coba saya terapkan di online shopping milik saya. Awalnya memang saya pernah menggunakan taktik marketing macam ini (kalau boleh dibilang sebagai salah satu taktik marketing lho ya.. habis saya jualan tapi ga punya ilmu marketing sama sekali, alias bondo nekat). Jadi barang-barang yang sudah lama dan ga up to date saya turunkan harganya (ga pakai hitungan berapa persennya, pokoknya diturunin aja). Tapi kalau yang ini asli, ga saya naikkin dulu lho harganya. Soalnya saya ga mau dapat cercaan dari konsumen-konsumen lama saya yang sudah tahu harganya duluan. Atau bahkan sudah mengincar satu produk tapi (mungkin) harganya mahal (menurutnya – padahal siy bener deh harganya ga mahal hehehe sekalian promosi). Yah mahal kan relatif, tapi kalau sesuai dengan kualitas, apa bisa dibilang mahal? (asyik-asyik ngeles aja)

Tapi tetap saja ada beberapa barang yang meskipun sudah diturunkan harganya tapi tidak diturunkan juga dari lemari pajangan alias belum laku. Tiba-tiba saja terpikirlah suatu ide yaitu menjual semua barang yang sudah jadul alias jaman dulu dalam satu harga yaitu Rp. 50.000 (Stop!! Jangan berfikir bahwa barang-barang jadul koleksi saya itu benar-benar jadul ya karena dapat dipastikan bahwa itu masih diproduksi di tahun 2009 koq, hanya saja memang sudah lama ngendon di lemarinya). Dan responnya sungguh diluar dugaan. Walhasil pada hari itu saya kerepotan pastinya karena tiba-tiba muncul banyak pesanan bahkan sampai wl alias waiting list. Benar-benar hari yang sangat berbeda dibandingkan hari biasanya. Entah memang karena efek harganya yang hanya Rp. 50.000 atau memang masyarakat kita yang doyan dengan yang namanya sale itu. Tapi yang pasti, saya senanglah karena akhirnya saya bisa menambah omzet untuk bulan ini. Dan kalau boleh saya bangga, tidak lama kemudian, banyak on line shopping tetangga dunia maya saya yang akhirnya melakukan hal yang serupa.

Rabu, 07 Juli 2010

Dibuka : Lowongan Jadi Preman, Mau ??

Tulisan ini hanya sekedar murni sharing semata dan tidak bermaksud untuk memojokkan seseorang atau sekelompok orang tertentu.

Yang ingin saya bagi disini hanya kelakuan orang-orang yang mungkin sudah menjadi bagian dari gaya hidup kita sehari-hari.

Akhir-akhir ini saya mulai menyadari bahwa terdapat beberapa orang yang bertingkah seenaknya sendiri dan tak ubahnya menjadi preman kecil-kecilan. Yah katakanlah misalnya aksi mengendarai kendaraan yang tidak tertib (tidak menyalakan lampu motor, berkendara melawan arus, ngetem di sembarang tempat, membunyikan klakson sekeras-kerasnya padahal memang kondisi jalan tidak memungkinkan untuk maju bahkan sampai berteriak kata-kata kasar dan tidak sopan).

Awalnya saya tidak begitu menggubris keadaan tsb dan ketika suami sering ngomel saat harus berhadapan dengan kondisi demikian, selalu saya jawab dengan, ”Sabar aja, dia lagi kebelet pipis kali”. Tapi anehnya, keadaan seperti ini semakin lama semakin sering terjadi, dan akhirnya membuat saya berpikir apa orang-orang ini gak punya aturan? Waduh kalau dibiarkan seperti ini bakal repot juga ya? Orang seenaknya sendiri, dan ga mau peduli sama yang lain. Dan hal ini tidak hanya terjadi pada orang-orang dengan kondisi ekonomi lemah saja yang mungkin tidak berpendidikan. Bahkan saya pun sering menjumpai orang-orang macam ini yang tinggal di kawasan elit, berkendara mobil mewah dan tak lupa menenteng gadget mutakhir. Jadi, jangan pula jadikan kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan sebagai faktor pendorong.

Mungkin ada anggapan bahwa ”hidup di Jakarta itu keras Bung!”, kita menindas atau kita yang nantinya tertindas. Nah kalau pahamnya seperti ini, silakan saja tinggal di hutan, Bung ! (hehehe.. kasian si ”Bung” ini suka jadi kambing hitam. Kenapa juga ga, ”Neng”, ”Bang” atau ”Mas” sekalian?).

Orang seringkali menunjuk-nunjuk si A ga tau aturan, si B itu preman, tapi apakah kita sudah bercermin pada diri sendiri?

Saya pribadi selalu menganut paham bahwa ketika kita menunjuk-nunjuk orang lain karena kesalahannya, sebenarnya di tangan kita itu ada 3 jari lainnya yang sedang menunjuk ke arah kita sendiri. Artinya, banyak orang marah, kecewa, tidak puas terhadap tingkah laku orang lain tapi ternyata dirinya sendiri pun juga masih melakukan hal-hal kecil yang sifatnya remeh temeh namun secara tidak langsung mengganggu kepentingan orang lain (mungkin juga orang banyak).

Jadi, masih berminat jadi preman?

Senin, 05 Juli 2010

Pantura: Antara Sopir Truk, Tank Top dan Lobang

Siapa yang tak kenal dengan jalur ini, jalan utama yang menghubungkan antar kota di pulau Jawa. Tentunya jalur ini tak pernah sepi peminatnya. Di hari biasa, terutama di malam hari jika kita melewati jalan ini maka kendaraan-kendaraan besar macam bis, truk dan kontainer yang akan menemani. Pun menjelang lebaran atau libur panjang, antrian kendaraan pribadi maupun bis baik carteran maupun umum tak kalah ramai.

Biasanya saya hanya melewati jalur ini ketika akan mudik di hari raya. Macet sepertinya menjadi agenda wajib di sepanjang jalan pantura ini, teritama jika kita berangkat menjelang hari raya Idul Fitri. Namun kini sepertinya saya lebih akrab lagi dengan jalur ini. Kini, hampir setiap bulan saya tak pernah absen. Kali ini dengan agenda belanja kebutuhan toko online saya. Tujuan akhirnya bisa ke berbagai daerah, Cirebon, Pekalongan atau Semarang.

Jika biasanya saya pulang mudik melewati jalur ini, tidak pernah memperhatikan benar kondisi jalanan (alias tinggal tidur saja) maka kini saya lebih aware dengan keadaan di pantura. Jika saya berangkat dari Jakarta sebelum subuh, maka kira-kira sampai di jalur pantura sekitar pkl 05.30. Udara sejuk masih bisa saya rasakan. Pemadangan hijau sawah yang terbentangpun masih bisa dinikmati. Sejenak melupakan pengapnya ibukota lah. Tapi apa jadinya jika kita berada di jalur ini agak siangan? Macet, kepulan asap knalpot truk dan kudu bersabar dengan selap-selipnya pengendara motor penduduk sekitar lah yang harus dihadapi. Kalau anda pengemudi pemula, janganlah mencoba-coba menyetir di sini (hmm.. sedikit curhat siy. Meskipun saya sdh bertahun-tahun nyetir di Jakarta, tapi sepertinya nyalinya belum berani coba menyetir di sini)

Tapi ada yang menarik ketika melewati daerah Karawang. Deretan rumah-rumah mungil dengan warna-warna cukup mencolok mau tak mau mencuri perhatian. Yang tak kalah menariknya lagi adalah tulisan yang terpampang di dindingnya. Umumnya nama wanita kemudian ditambah dengan embel-embel karaoke. Yah sebut saja Juminten Karaoke, Mulyati Karaoke atau sampai yang namanya agak kebarat-baratan seperti Crystal Karaoke atau Jane Karaoke. Tak lupa ditambah dengan hiasan gambar bunga mawar disisinya. Kenapa bunga mawar? Yah mungkin lebih indah jika dibanding dengan bunga bangkai atau bunga kamboja (bletak--dilempar pakai telepon umum). Mungkin karena maraknya bisnis-bisnis kecil-kecilan seperti inilah kemudian dikenal pula dengan goyang Kerawang (kenapa juga ya namanya mesti goyang? apa ada goyang di dalamnya? padahal kalau dilongok, sepertinya tempatnya kecil, apa cukup untuk goyang macam pub atau diskotik maybe?). Pemandangan yang jauh berbeda akan tampak ketika kita melewatinya di sore atau bahkan malam hari. Jika di pagi hari suasana tampak tenang seperti tak berpenghuni, lain halnya ketika di sore hari. Banyak mbak-mbak berbaju minimalis dengan dandanan maksimalis berjejer di depan rumah-rumah mungil itu. Tujuannya tak lain adalah untuk menarik perhatian pengendara mobil, motor atau bahkan truk untuk sekedar mampir melepas lelah sebentar. Menurut kabar yang beredar, mayoritas pelanggan yang mampir dan berkunjung adalah para supir truk. Yah.. tak mengherankan, diantara beratnya beban pekerjaan mereka yang mungkin hampir sebagian hidupnya dilewatkan di jalanan, pastinya mereka butuh tempat untuk melepaskan penatnya. Dan mungkin tempat-tempat semacam inilah yang sesuai dengan kriteria dan pastinya kantong mereka.

Tapi ada hal lainnya yang tak boleh ketinggalan dari kalur pantura ini. Yah, lobang. Bukan sembarang lobang melainkan memang lobang yang ada di jalanan. Meskipun setiap kali lewat jalanan ini selalu ada embel-embel "Mohon maaf ada perbaikan jalan" tapi tetap saja jalanan tidak pernah mulus. Bahkan rasanya semakin lama semakin banyak pula lobangnya. Ini tentunya menjadi pengalaman yang kurang menyenangkan. Selain tidak nyaman karena harus merasakan gojlak-gojlak layaknya sedang berkendara kuda latih juga dapat merusak kendaraan. Entah siapa yang harus bertanggung jawab atas keberadaan lobang-lobang itu.

Yah pantura, jalur utama yang memiliki banyak cerita. Menjadi saksi bisu atas segala kejadian. Dan yang pasti, banyak hidup yang tergantung padanya.