Kamis, 26 Agustus 2010

Menjadi Artis: Antara Bakat, Kebutuhan dan Kapitalisme Media

Waduh, dari judulnya saja koq terlihat berat ya? Tapi tenang saja, ini tidak seberat yang dibayangkan koq. Apalagi ini adalah tulisan seorang saya yang ga pernah membuat tulisan dengan tema yang membuat pembacanya mengernyitkan alis, membuat otak bekerja keras dan akhirnya malah buat persepsi sendiri-sendiri.

Sudah satu bulan ini kira-kira, keseharian kita (atau mungkin hanya saya ya?) dihebohkan dengan kemunculan dua orang remaja putri yang tampil secara lipsync yang direkam dan diunggah pada situs youtube. Ya bukan hal yang luar biasa memang, salah satu cara untuk menjadi tenar adalah dengan menggunakan fitur salah satu situs dunia maya ini. Sebelumnya, saya sudah mengetahui adanya video 2 anak balita asal Eropa (ini siy praduga saya dari aksen yang digunakan 2 anak unyil kakak beradik). Ya, video Charlie bit my finger, buat saya benar-benar sebuah tontonan yang menyegarkan kala sedang suntuk. Dari tampilan sederhana yang menggambarkan si adik yang menggigit jari kakaknya itu akhirnya mampu membuat mereka menjadi milyuner. Berkat kecerdikan ibunya yang mampu merekam kejadian sederhana (siapa siy diantara kita yang ga pernah digigit jarinya sama saudara kita sendiri? Tapi kenapa dulu kita ga pernah kepikiran untuk melakukan hal yang sama ya?), diunggah, menjual merchandise foto mereka dan mendapatkan keuntungan yang bukan recehan pastinya. Atau duo pria dengan dandanan “ajaib” asal Filipina (kalau ga salah, kalau salah mohon koreksinya ya-piss) yang menirukan gaya dan bernyanyi secara lypsinc lagu-lagu yang sudah tenar sebelumnya. Yang paling oke menurut saya adalah saat mereka menirukan lagu theme song “Marimar”. Ekspresi mereka “megang” banget (ini mengikuti istilah yang sedang trend sekarang hehehe), cara lypsinc yang pas banget sampai gerakan terompetnya mereka lakukan dengan sempurna. Itu artinya mereka memang sudah melakukan latihan sebelumnya (iya gak ya pakai latihan dulu?). Tapi buat saya yang paling berkesan pada video itu adalah ada seorang wanita yang sibuk memasak sebagai background mereka. Top markotop deh kalau boleh meminjam istilah pak Bondan.

Nah, balik lagi ke duet Sinta dan Jojo ini. Tidak dipungkiri lagi bahwa mereka akhirnya menjadi artis dadakan. Dari yang awalnya tidak tahu bahwa ada lagu Keong Racun beraliran koplo tarling yang sudah edar sebelumnya, sampai akhirnya lagu ini dinyanyikan kembali. Pun, di salah satu infotaintment ketika mereka diwawancara rencana ke depannya apa akan menjadi artis penyanyi, atau sinetron mereka tampak tidak siap menjawab dan hanya menjawab dengan “kita mungkin akan tetap lypsinc” (terus terang ketika mendengar jawaban demikian, sang presenter pun sepertinya tidak menduga akan mendengar jawaban yang amat sangat sederhana, terlihat dari ekspresi wajah yang tidak bisa digambarkan, hehehe yang ini no comment). Untuk kondisi seperti menjadi artis melalui youtube, bolehlah dikata ini karena faktor hoki, alias untung. Yah bayangkan saja, berapa puluh ribu orang yang sudah mengunggah ke situs ini (agak lebay gak siy jumlahnya?) tapi berapa yang akhirnya mampu menjadi buah bibir di masyarakat?

Kalau saya boleh mengutip dari ucapan seorang Addie MS pada salah satu episode Indonesia Mencari Bakat- salah satu acara pencarian bakat yang notabene nantinya akan diasosiasikan menjadi artis pula, bahwa menjadi seorang artis, dibutuhkan 3 hal yaitu bakat, ketekunan dan keberuntungan. Hal terakhir ini yang akhirnya membuat duet Sinta-Jojo, Moy moy palaboy ataupun si Charlie dalam video Charlie bit my finger menjadi artis.

Bagaimana pula dengan calon artis yang sedang berjuang melalui ajang Indonesia Mencari Bakat? Dari yang awalnya pesertanya (mungkin) puluhan ribu sampai akhirnya sekarang hanya tinggal hitungan jari, bukanlah perkara yang mudah pastinya. Sudah berapa kali mereka tampil di layar kaca? Dari yang awalnya kita tidak tahu siapa mereka sampai akhirnya sekarang mereka sampai sudah memiliki fans club sendiri. Untuk babak final ini saja misalnya, mereka tampil seminggu dua kali di akhir minggu, secara berurutan pula harinya. Pasti bukan hal yang kecil juga yang mereka harus persiapkan. Stamina, itu sudah pasti. Berapa performance yang harus ditampilkan setiap minggunya membuat saya secara pribadi mau tidak mau berdecak kagum mengenai persiapannya. Belum lagi secara kreatifitas. Saya bukannya membanding-bandingkan, atau membela salah satu atau salah dua peserta. Tapi yang namanya mempersiapkan konsep, gerakan yang harus dihafal dan pastinya memikat juri dan pemirsa bukanlah perkara yang mudah. Dan bisa dipastikan secara permodalan juga bukanlah hal yang bisa dianggap sebelah mata. Kostum menjadi salah satu bukti nyata bahwa modal yang dihabiskan juga tidak sedikit. Belum lagi isu modal pulsa yang selalu membayangi acara-acara serupa, dimana SMS menjadi penentu si calon artis tsb survive atau tidak. Perkara berbakat atau tidak pada akhirnya, itu menjadi pilihan pemirsa dan nantinya waktu pula yang akan menjawab melalui eksistensi mereka di jagad hiburan (oh nooo... bahasanya mulai tidak membumi)

Kenapa akhirnya saya menyertakan embel-embel kapitalisme media dalam judulnya? Ya.. karena pengen saja (hahaha.. jawaban ga mutu.. :p). Sudah jelas yang namanya artis, pastinya dicetak dari media. Betul bukan? Ambil contoh saja IMB, atau ajang-ajang pencarian bakat sejenis. Dengan iming-iming kontrak eksklusif dengan ajang tsb, tidak pelak lagi membuat banyak orang berbondong-bondong mendaftar dengan mencari peruntungan. Tampilnya mereka sebanyak satu minggu sekali selama berbulan-bulan, dari yang ratingnya mungkin tidak dilirik pemirsa sampai akhirnya menempati rating tertinggi mau tak mau menjadi magnet bagi produk-produk untuk beriklan pada acara tsb. Bahkan tak dipungkiri lagi terkadang kita selintasan melihat para pesertanya seakan dipaksakan menggunakan produk sponsor (dipaksakan dari segi waktu, tempat dan konsep menurut saya). Penampilan mereka yang agak “diforsir” (harus menampilkan 4 macam performance tap minggunya) membuat saya menjadi lebih yakin lagi bahwa mereka adalah objek. Meskipun mungkin ada embel-embel bahwa antara artis dengan media itu menggunakan paham simbiosis mutualisme, alias saling membutuhkan.

Namun tantangan para calon artis itu tidak hanya bagaimana mereka bisa menjadi tenar saat itu namun sebenarnya adalah bagaimana mereka sanggup eksis dalam dunia hiburan yang pemainnya sudah teramat sangat banyak. Sebanding juga memang dengan bayaran yang akan mereka terima setelah manggung. Sekali naik pentas bayarannya mungkin melebihi kerja karyawan biasa selama sebulan atau bahkan bisa berlipat-lipat jumlahnya.Wow !!!

Nah, kalau dulu anak kecil saat ditanya cita-citanya mayoritas ingin menjadi dokter, namun tidak untuk masa kini. Ingin jadi artis. Itu jawab anak-anak jaman sekarang. Antara menyalurkan bakat, tergiur dengan popularitas dan menjadi kaya dengan berlenggak-lenggok di layar kaca pastinya menjadi alasannya. Bukan suatu yang mengherankan, bukan? Bagaimana dengan anak anda?

Senin, 02 Agustus 2010

No, He is My Soulmate

Yang namanya umur, jodoh, karir, itu memang sudah ditentukan. Kapan kita lulus kuliah, bekerja, menikah, punya anak bahkan meninggalpun, kita tidak pernah tahu datangnya kapan.
Bayangannya, begitu lulus kuliah, langsung diterima bekerja di perusahaan yang terkenal, sesuai dengan apa yang kita pelajari di bangku kuliah, punya karir yang bagus dan seterusnya dan seterusnya. Tapi, apa iya semudah itu?

Begitu pula dengan jodoh. Bertemu dengan orang yang sesuai dengan kriteria pribadi yang diimpikan, atau malah ekstrimnya seperti impian anak kecil, menikah dengan pangeran yang menunggang kuda putih (nah kalau yg ini pastinya ga jauh-jauh dari era putri salju atau cinderella. Coba kalau anak sekarang, pasti dengan Edward Cullen lah..)

Inginnya yang gagah, berkulit putih, mapan, punya mobil dan rumah, mungkin itu adalah kriteria calon suami yang diinginkan. Atau mungkin yang slenge'an, kumal, dekil, berkulit sawo matang atau juga seorang musisi, artis, seniman atau apapun itu pastinya masing-masing dari kita punya tipe ideal siapa sosok pria yang bakal mendampingi kita. Tapi apa iya kita harus ngoyo untuk mendapatkan yang benar-benar sesuai dengan kriteria kita? Atau justru pasrah saja dan meyakini bahwa pasti akan ada seseorang yang kelak akan menjadi pendamping hidup kita?

Awalnya, pria yang saya inginkan menjadi pendamping hidup adalah yang tidak terlalu putih, berkacamata, dan pintar pastinya. Yang dimaksud pintar disini adalah nyambung kalau diajak ngomong dari yang urusannya remeh temeh sampai mikirin inflasi, dari gosip artis sampai masalah elite politik (hehehe.. yah pokoknya itu requirement wajiblah, jangan sampai diajak omong cuma bisa plonga plongo doang. Padahal saya juga gak pinter-pinter amat koq, standarlah). Saya juga gak butuh orang yang bisa menjelaskan tentang hukum relativitas atau membahas mengenai karya-karya seorang Leo Tolstoy

Rasa berbunga-bunga sedang jatuh cinta sampai patah hati juga sudah pernah saya rasakan. Pengalaman yang terakhir sebelum akhirnya ketemu dengan mantan pacar yang akhirnya menjadi suami saya menyisakan beberapa trauma. Bahkan saya sampai berani berucap meskipun hanya dalam hati saya bahwa saya tidak mau punya suami yang berasal dari salah satu kota di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah hanya karena dia berasal dari daerah tsb.

Tapi sekali lagi bahwa mulutmu harimaumu. Itulah yang terjadi lagi pada diri saya. Batasan kriteria-kriteria yang saya buat sendiri akhirnya berbalik menjadi kenyataan. Suami saya akhirnya asli orang Cirebon. Dulu, waktu SMA, saya pernah skeptis thd salah satu SMA negeri unggulan di Jakarta karena ada sahabat saya yang satu SMP dengan saya akhirnya mengalami perubahan drastis karena masuk ke SMA tsb. Dan yak (drum please....), suami saya ternyata satu almamater SMAnya dengan sahabat saya itu. heemmm suatu kebetulan lagi bukan? Oh ya, saya juga sebenarnya tidak menginginkan suami dengan background pendidikan ekonomi. yah karena saya merasa, keluarga saya kebanyakan sarjana ekonomi, jadi koq ga ada yang luar biasa ya kalau saya bersuamikan sarjana ekonomi juga. Dan guess what? Yup, suami saya seorang sarjana ekonomi. Dan sejumlah kebetulan-kebetulan lainnya yang mungkin akan sangat banyak dan panjang jika diceritakan. Apa iya saya termasuk aliran yang kedua? Yaitu golongan yang pasrah dan yakin bahwa nantinya akan ada yang bakalan mendampingi kita?

Gak juga koq. Itu jawaban saya. Saya memang gak pernah ngoyo tapi juga gak pasrah-pasrah amat. Yang pasti ketikaitu saya merasa klop dan sudah satu visi, maka yang lainnya bisa dikompromikan. Tapi yang jadi requirement wajib, itu menjadi benang merah yang gak boleh untuk dikesampingkan. Untungnya suami saya ini bisa diajak ngomong masalah apapun alias gak bakal malu-maluin kalau dibawa kondangan (pletak.. emang hidupmu cuma buat kondangan aja?dilempar sama telenan kayu)

Dulu saat masih belum dalam status perkawinan alias masih pacaran, pembawaan saya temperamental, gak sabaran, ingin menang sendiri alias egois. Waktu itu almarhumah ibu sempat berujar saat melihat calon suami saya yang dimatanya adalah seorang yang penyabar dan selalu mengalah,"Kamu jangan terlalu pemarah, nanti orangnya kabur lho".

Tapi seiring dengan waktu, melalui proses pendewasaan juga mungkin ya, perlahan segala emosi dan temperamental saya mulai berkurang, kami mulai bisa menyeimbangkan satu sama lain. Menjadi peri saat yang lain sedang keluar tanduknya. Menjadi gate keeper saat yang satunya sangat berambisi menjadi striker. Baik saya maupun dia sama-sama berubah. Saat saya sedang merasa down, dia yang menjadi pemompa semangat, saat dia sedang labil, saya yang coba menjaga keseimbangan dirinya. Dari situ saya beranggapan bahwa kehidupan berumah tangga bukan hanya sekedar kehidupan dua anak manusia yang bertujuan regenerasi, tapi lebih dalam dan lebih luas dari itu. Bukan hanya sekedar yang satu mencari nafkah untuk membiayai kehidupan rumah tangganya, sedangkan yang satu lagi sibuk memutar otak mengakali bagaimana caranya menghidangkan makanan yang enak dan bergizi di saat harga cabai sedang melambung tinggi.

Baru-baru ini, saya mendapatkan satu pencerahan dan itulah yang kemudian menjadi pedoman hidup saya dan (sedang saya coba tularkan juga pada )suami yaitu Allah SWT memberikan segala sesuatu bukan yang diinginkan oleh ummatNya, tapi yang dibutuhkan.

Jadi, kalau saya bertemu dengan teman lama saya dan dia bertanya, "Apa ini suami kamu?" Maka dengan tegas saya akan menjawab, "No, he is my soulmate"

Dedicated to my soulmate yang sedang sibuk memperjuangkan karirnya.

Senin, 19 Juli 2010

The Power of Goban

SALE mungkin istilah ini ga ada yang ga kenal. Dari anak kecil sampai orang yang sudah berumur (apalagi). Dari orang dengan latar belakang sosial, ekonomi pastilah paham dengan kata yang satu ini. Dan terus terang, buat saya pribadi, ketika mendengar kata ini pasti adrenalinnya naik (ya layaknya orang yang sedang naik gunung, ngebut-ngebutan di jalanan atau nyebrang di jalan tol – waaaakss.. yang ini bukan bikin adrenalin meningkat lagi, tp emang orang kurang kerjaan aja dan ga bisa ngehargain hidup).

Tapi tilik saja, tidak hanya di kota-kota besar, dimanapun yang namanya sale pasti mengundang banyak orang. Entah itu memang benar kalau harganya memang didiskon sesuai dengan harga awalnya atau seperti rahasia umum yang sudah beredar di masyarakat kalo di acara-acara sale macam itu harganya dinaikin dulu baru didiskon harganya. Wallahualam.

Ambillah contoh event-event yang digelar secara rutin seperti misalnya … Big Sale (merujuk pada salah satu department store terkemuka di kota-kota besar), Jakarta Great Sale, (yang katanya diadakan untuk dapat mampu menyaingi negara tetangga), atau yang saat ini sedang happening yaitu Late Night Sale. Jangan salah mengira lho kalau Late Night Sale itu sepi pengunjung karena acaranya diadakan di malam hari. Justru yang terjadi adalah sebalikannya. Ada salah seorang expatriate yang saya kenal dan waktu diadakannya late night shopping itu beliau iseng untuk mengunjunginya. Tempatnya saat itu di salah satu mall besar di daerah Senayan. Dan guess what, dia harus rela turun dari taksi dan berjalan lumayan jauh dari Sudirman ke Senayan hanya karena maceeeeettttttt antrian kendaraan yang mau antri masuk ke mal tsb dan akhirnya beliau berkata, ”This is the first and the last time”. Atau misalnya fenomena antrian sandal karet impor yang mengular sampai beberapa lantai. Padahal siy kalau dilihat kembali, harganya juga ga murah-murah amat. Takjub, hanya itu satu kata yang bisa diungkapkan.

Hal ini juga yang coba saya terapkan di online shopping milik saya. Awalnya memang saya pernah menggunakan taktik marketing macam ini (kalau boleh dibilang sebagai salah satu taktik marketing lho ya.. habis saya jualan tapi ga punya ilmu marketing sama sekali, alias bondo nekat). Jadi barang-barang yang sudah lama dan ga up to date saya turunkan harganya (ga pakai hitungan berapa persennya, pokoknya diturunin aja). Tapi kalau yang ini asli, ga saya naikkin dulu lho harganya. Soalnya saya ga mau dapat cercaan dari konsumen-konsumen lama saya yang sudah tahu harganya duluan. Atau bahkan sudah mengincar satu produk tapi (mungkin) harganya mahal (menurutnya – padahal siy bener deh harganya ga mahal hehehe sekalian promosi). Yah mahal kan relatif, tapi kalau sesuai dengan kualitas, apa bisa dibilang mahal? (asyik-asyik ngeles aja)

Tapi tetap saja ada beberapa barang yang meskipun sudah diturunkan harganya tapi tidak diturunkan juga dari lemari pajangan alias belum laku. Tiba-tiba saja terpikirlah suatu ide yaitu menjual semua barang yang sudah jadul alias jaman dulu dalam satu harga yaitu Rp. 50.000 (Stop!! Jangan berfikir bahwa barang-barang jadul koleksi saya itu benar-benar jadul ya karena dapat dipastikan bahwa itu masih diproduksi di tahun 2009 koq, hanya saja memang sudah lama ngendon di lemarinya). Dan responnya sungguh diluar dugaan. Walhasil pada hari itu saya kerepotan pastinya karena tiba-tiba muncul banyak pesanan bahkan sampai wl alias waiting list. Benar-benar hari yang sangat berbeda dibandingkan hari biasanya. Entah memang karena efek harganya yang hanya Rp. 50.000 atau memang masyarakat kita yang doyan dengan yang namanya sale itu. Tapi yang pasti, saya senanglah karena akhirnya saya bisa menambah omzet untuk bulan ini. Dan kalau boleh saya bangga, tidak lama kemudian, banyak on line shopping tetangga dunia maya saya yang akhirnya melakukan hal yang serupa.

Rabu, 07 Juli 2010

Dibuka : Lowongan Jadi Preman, Mau ??

Tulisan ini hanya sekedar murni sharing semata dan tidak bermaksud untuk memojokkan seseorang atau sekelompok orang tertentu.

Yang ingin saya bagi disini hanya kelakuan orang-orang yang mungkin sudah menjadi bagian dari gaya hidup kita sehari-hari.

Akhir-akhir ini saya mulai menyadari bahwa terdapat beberapa orang yang bertingkah seenaknya sendiri dan tak ubahnya menjadi preman kecil-kecilan. Yah katakanlah misalnya aksi mengendarai kendaraan yang tidak tertib (tidak menyalakan lampu motor, berkendara melawan arus, ngetem di sembarang tempat, membunyikan klakson sekeras-kerasnya padahal memang kondisi jalan tidak memungkinkan untuk maju bahkan sampai berteriak kata-kata kasar dan tidak sopan).

Awalnya saya tidak begitu menggubris keadaan tsb dan ketika suami sering ngomel saat harus berhadapan dengan kondisi demikian, selalu saya jawab dengan, ”Sabar aja, dia lagi kebelet pipis kali”. Tapi anehnya, keadaan seperti ini semakin lama semakin sering terjadi, dan akhirnya membuat saya berpikir apa orang-orang ini gak punya aturan? Waduh kalau dibiarkan seperti ini bakal repot juga ya? Orang seenaknya sendiri, dan ga mau peduli sama yang lain. Dan hal ini tidak hanya terjadi pada orang-orang dengan kondisi ekonomi lemah saja yang mungkin tidak berpendidikan. Bahkan saya pun sering menjumpai orang-orang macam ini yang tinggal di kawasan elit, berkendara mobil mewah dan tak lupa menenteng gadget mutakhir. Jadi, jangan pula jadikan kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan sebagai faktor pendorong.

Mungkin ada anggapan bahwa ”hidup di Jakarta itu keras Bung!”, kita menindas atau kita yang nantinya tertindas. Nah kalau pahamnya seperti ini, silakan saja tinggal di hutan, Bung ! (hehehe.. kasian si ”Bung” ini suka jadi kambing hitam. Kenapa juga ga, ”Neng”, ”Bang” atau ”Mas” sekalian?).

Orang seringkali menunjuk-nunjuk si A ga tau aturan, si B itu preman, tapi apakah kita sudah bercermin pada diri sendiri?

Saya pribadi selalu menganut paham bahwa ketika kita menunjuk-nunjuk orang lain karena kesalahannya, sebenarnya di tangan kita itu ada 3 jari lainnya yang sedang menunjuk ke arah kita sendiri. Artinya, banyak orang marah, kecewa, tidak puas terhadap tingkah laku orang lain tapi ternyata dirinya sendiri pun juga masih melakukan hal-hal kecil yang sifatnya remeh temeh namun secara tidak langsung mengganggu kepentingan orang lain (mungkin juga orang banyak).

Jadi, masih berminat jadi preman?

Senin, 05 Juli 2010

Pantura: Antara Sopir Truk, Tank Top dan Lobang

Siapa yang tak kenal dengan jalur ini, jalan utama yang menghubungkan antar kota di pulau Jawa. Tentunya jalur ini tak pernah sepi peminatnya. Di hari biasa, terutama di malam hari jika kita melewati jalan ini maka kendaraan-kendaraan besar macam bis, truk dan kontainer yang akan menemani. Pun menjelang lebaran atau libur panjang, antrian kendaraan pribadi maupun bis baik carteran maupun umum tak kalah ramai.

Biasanya saya hanya melewati jalur ini ketika akan mudik di hari raya. Macet sepertinya menjadi agenda wajib di sepanjang jalan pantura ini, teritama jika kita berangkat menjelang hari raya Idul Fitri. Namun kini sepertinya saya lebih akrab lagi dengan jalur ini. Kini, hampir setiap bulan saya tak pernah absen. Kali ini dengan agenda belanja kebutuhan toko online saya. Tujuan akhirnya bisa ke berbagai daerah, Cirebon, Pekalongan atau Semarang.

Jika biasanya saya pulang mudik melewati jalur ini, tidak pernah memperhatikan benar kondisi jalanan (alias tinggal tidur saja) maka kini saya lebih aware dengan keadaan di pantura. Jika saya berangkat dari Jakarta sebelum subuh, maka kira-kira sampai di jalur pantura sekitar pkl 05.30. Udara sejuk masih bisa saya rasakan. Pemadangan hijau sawah yang terbentangpun masih bisa dinikmati. Sejenak melupakan pengapnya ibukota lah. Tapi apa jadinya jika kita berada di jalur ini agak siangan? Macet, kepulan asap knalpot truk dan kudu bersabar dengan selap-selipnya pengendara motor penduduk sekitar lah yang harus dihadapi. Kalau anda pengemudi pemula, janganlah mencoba-coba menyetir di sini (hmm.. sedikit curhat siy. Meskipun saya sdh bertahun-tahun nyetir di Jakarta, tapi sepertinya nyalinya belum berani coba menyetir di sini)

Tapi ada yang menarik ketika melewati daerah Karawang. Deretan rumah-rumah mungil dengan warna-warna cukup mencolok mau tak mau mencuri perhatian. Yang tak kalah menariknya lagi adalah tulisan yang terpampang di dindingnya. Umumnya nama wanita kemudian ditambah dengan embel-embel karaoke. Yah sebut saja Juminten Karaoke, Mulyati Karaoke atau sampai yang namanya agak kebarat-baratan seperti Crystal Karaoke atau Jane Karaoke. Tak lupa ditambah dengan hiasan gambar bunga mawar disisinya. Kenapa bunga mawar? Yah mungkin lebih indah jika dibanding dengan bunga bangkai atau bunga kamboja (bletak--dilempar pakai telepon umum). Mungkin karena maraknya bisnis-bisnis kecil-kecilan seperti inilah kemudian dikenal pula dengan goyang Kerawang (kenapa juga ya namanya mesti goyang? apa ada goyang di dalamnya? padahal kalau dilongok, sepertinya tempatnya kecil, apa cukup untuk goyang macam pub atau diskotik maybe?). Pemandangan yang jauh berbeda akan tampak ketika kita melewatinya di sore atau bahkan malam hari. Jika di pagi hari suasana tampak tenang seperti tak berpenghuni, lain halnya ketika di sore hari. Banyak mbak-mbak berbaju minimalis dengan dandanan maksimalis berjejer di depan rumah-rumah mungil itu. Tujuannya tak lain adalah untuk menarik perhatian pengendara mobil, motor atau bahkan truk untuk sekedar mampir melepas lelah sebentar. Menurut kabar yang beredar, mayoritas pelanggan yang mampir dan berkunjung adalah para supir truk. Yah.. tak mengherankan, diantara beratnya beban pekerjaan mereka yang mungkin hampir sebagian hidupnya dilewatkan di jalanan, pastinya mereka butuh tempat untuk melepaskan penatnya. Dan mungkin tempat-tempat semacam inilah yang sesuai dengan kriteria dan pastinya kantong mereka.

Tapi ada hal lainnya yang tak boleh ketinggalan dari kalur pantura ini. Yah, lobang. Bukan sembarang lobang melainkan memang lobang yang ada di jalanan. Meskipun setiap kali lewat jalanan ini selalu ada embel-embel "Mohon maaf ada perbaikan jalan" tapi tetap saja jalanan tidak pernah mulus. Bahkan rasanya semakin lama semakin banyak pula lobangnya. Ini tentunya menjadi pengalaman yang kurang menyenangkan. Selain tidak nyaman karena harus merasakan gojlak-gojlak layaknya sedang berkendara kuda latih juga dapat merusak kendaraan. Entah siapa yang harus bertanggung jawab atas keberadaan lobang-lobang itu.

Yah pantura, jalur utama yang memiliki banyak cerita. Menjadi saksi bisu atas segala kejadian. Dan yang pasti, banyak hidup yang tergantung padanya.

Selasa, 29 Juni 2010

Terima Kasih Banyak Pak Pulisi ...

Jika ditanya ke saya, kejadian macam apa yang membuat saya mati gaya, maka jawabannya adalah jika harus berhadapan dengan polisi. Kalau ditanya alasannya kenapa pun, tidak bisa saya jawab. Syukur alhamdulillah untuk pengalaman urusan dengan polisi, masih bisa dihitung dengan jari (sebenarnya agak rancu juga istilah "masih bisa dihitung dengan jari", masalahnya dengan jari siapa? Apakah jari warga se RT juga bisa termasuk dalam hitungan? *bletak-ditimpuk gayung*).
Pengalaman pertama saya ketika harus berhadapan dengan polisi, itu tak membuat saya menjadi lebih pintar bagaimana harus menghadapi aparat.
Kejadian ini terjadi kira-kira sekitar 10 tahun yang lalu, yaitu saat saya masih kuliah dimana saat itu saya sedang getol-getolnya mengikuti kegiatan kemahasiswaan (wakss... sudah lama juga ya? jadi keliatan deh tuanya ^_*). Seperti biasa, saat sedang mengumpulkan dana untuk sebuah acara amal, saya bersama teman-teman melewati sekitaran Jl. Merdeka Barat. Karena saya tidak familiar dengan daerah tsb dan memang belum pernah menyetir di daerah tsb, maka saya membelok ke sebuah jalan yang lumayan sepi, mengikuti sebuah mobil sedan. Tiba-tiba, saya distop oleh polisi. Kontan pada saat itu saya panik, bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Maka saya turun ditemani oleh seorang teman saya yang sangat percaya diri (sebut saja namanya Ucup) dan terkesan sangat tahu bagaimana harus menghadapi para polisi itu. Sebelum turun dari mobil, Ucup ini sudah heboh sendiri. "Udah Wid, tenang aja, biar gw bantuin. Gampang. Lo bawa turun aja jakun (jaket kuning-jaket almamater kampus saya) skalian. Tar bilang aja, kita mo ktemu Bang Yos"
Mendengar hal tsb, teman-teman saya lainnya hanya tertawa dan hanya tinggal saya saja yang pasrah menghadapi nasib (pastinya akan tampak sangat aneh menghadapi polisi dengan berjakun, emang habis demo apa?)
Dari keterangan yang diberikan polisi, saya melanggar rambu dimana seharusnya ada tanda verboden di depan jalan artinya sebenarnya saya tidak boleh masuk ke jalan tsb. Karena saya masih bingung dan yakin bahwa saya tidak melihat rambu yang dimaksud, maka saya hanya diam saja dan si Ucup inilah yang aktif berdebat dengan polisi.
"Maaf pak, kita buru-buru nih pak, ditunggu Bang Yos mau rapat" (si Ucup dengan gaya soookkkknya pengen ditimpuk pake bola bekel)
Tampak saat itu pak polisi pun sudah mulai kesal dengan tingkah laku si Ucup ini. "Ya pokoknya adik-adik ini melanggar lalu lintas"
"Ya udah deh pak, damai aja, Bapak juga ga adil, masa tadi di depan ada mobil yang lewat, tapi cuma kita aja yang distop" (hadoooohhh rasanya saya ingin menyumpal mulut Ucup karena khawatir bukannya beres malah jadi repot).
"Mobil yang mana?Mobil sedan tadi?Itu kan mobil kedutaan mas" timpal pak polisi.
MasyaAllah.... jadi, yang kita ikutin itu mobil kedutaan?Pantesan aja.... Padahal yang dari awal ribut untuk mengikuti mobil tadi ya si Ucup juga...hufh.. tambah gondoklah saya. Walhasil saya harus mengurus tilang dan printil-printilan lainnya sendiri (Yap benar, SENDIRI, karena antara trauma sewaktu mengikuti anjuran si Ucup atau kesel karena Ucup ga mau bertanggung jawab atas segala kelakuannya). Oh ya, sebagai tambahan, tuh polisi marah karena kita dianggap mau nyogok polisi (kalau yang ini, saya gak berani komentar).
Pengalaman terbaru saya harus berurusan dengan polisi adalah kemarin. Dulu, saat saya masih bekerja dan berangkat bareng suami dari mulai naik motor sampai akhirnya naik mobil (ciechhh.. pamer sdikit ahhh.. -mbenerin baju), selalu melewati Jl. Saharjo dan belok kanan di bawah fly over menuju arah Jl. Gatot Subroto. Dan yang namanya pagi, selalu banyak teman jalannya, semuanya terburu-buru dan terakhir, selap-selip jadinya. Dan biasanya pula, kalau lampunya masih kuning, malah dinaikkan gasnya, pepet kendaraan depan, dan sssstt... salip kiri. Aman.
Nah hal itu pula yang kemarin saya lakukan. Tapi herannya, saat melakukan itu, saya masih sempat menengok spion dan terheran-heran, "Lho koq, ga ada yang ngikutin?"
Dan ternyata, taraaaa... muncul pak pulisi melambai-lambaikan tangan (dan memberikan sun jauh... hahahaha.. ya gak lah... mau disambit pake sumur?). Yak betul saya disuruh minggir. Kontan saja saya panik. Berbagai sumpah serapah pun mulai bermunculan.
"Selamat siang, mau kemana Bu?Kerja?" tanya pak polisi. Tak sadar sayapun menganggukkan kepala. "Kerja koq masuknya siang begini, kesiangan ya semalam habis bergadang nonton bola?". Tambah bete lah saya dikomentari demikian. Seperti biasa, dimintalah segala keperluan surat-surat sambil polisi itu mulai menceramahi saya betapa bahayanya kalau menerobos lampu merah. Saya yang yakin bahwa masih lampu kuning saat saya jalan sampai akhirnya saya menyerah saja dan hanya bisa pasrah mengangguk-anggukan kepala saja sambil berkata "maaf". Kemudian pak polisi tersebut mulai meneliti surat-surat kelengkapan kendaraan alias SIM dan STNK. Dan ternyata (drum please..) taraaaa....SIM saya mati alias sudah expired. Wah lengkaplah kesialan saya hari itu. Saya benar-benar lupa bahwa saya seharusnya sudah memperpanjang SIM tahun ini. Mulailah lagi pak polisi itu memberikan petuah-petuah. "Wah mbak ---turun niy derajatnya dari yang awalnya dipanggil "Ibu" sekarang dipanggil "Mbak". Kalo lupa itu biasanya 1 bulan, kalo 2 bulan apalagi ini mau 3 bulan namanya itikadnya udah ga baik" Saya sebenarnya agak bingung dengan pernyataan itu. Yang namanya lupa ya buat saya ya lupa. Mana pernah saya mengecek SIM kecuali, yaah kalau ada kejadian semacam ini. Makin lemaslah saya membayangkan berapa yang harus saya bayarkan. "Jadi maunya gimana niy mbak?" tanya polisi. Saya yang dari dulu tidak pernah tahu bagaimana cara menghadapi polisi ya hanya berujar, " Ya deh pak saya ngaku salah, terserah aja kalau ditilang, ". Si polisi ini tampak bingung menghadapi respon pasrah saya. "Nanti saya minta slip biru ya pak" ujar saya, disaat seperti itu saya masih mencoba untuk mengingat-ingat panduan jika distop polisi yang pernah saya baca. Dia melihat-lihat lagi SIM saya, "Mbak Widi Admiranti, rumahnya di JKT Timur ya.. Wah namanya sama niy sama nama istri saya". Mendengar ini saya hanya tersenyum-senyum hambar. Cengar-cengir gak karuan. "Ya udah deh jalan aja, ga saya tilang kali ini, tapi jangan nrobos lampu merah lagi ya!" Waks... serasa tak percaya mendengarnya. "Ya udah deh mbak jalan aja sana, tar bikin macet di sini," tambahnya.. Hah.. masih plonga-plongo kaya orang bego. Akhirnya dalam hati saya berteriak sekencang-kencangnya. "Yihaaa..". "Makasih pak.. makasih pak.. ya pak maaf.. gak ngulangin lagi pak.."ucap saya. Langsung saya melaju dengan cepat. Tapi hati kecil saya masih bertanya-tanya, kenapa ya saya tidak ditilang? Mungkin karena nama saya sama dengan nama istri si Bapak itu.. Takut kualat hihihi....
But eniwei... Many thanks to pak pulisi HW yang tugas di dekat patung gatotkaca lagi main bowling karena sudah membebaskan saya dari tilang.. Ampuuuunnn Pak, saya ngaku...

Minggu, 27 Juni 2010

Orang Indonesia Kreatif

"Wow", "Keren", "ck..ck..ck..". Ungkapan-ungkapan itulah yang tak henti-hentinya keluar dari mulut saya saat mulai masuk Jakarta Covention Center sampai akhirnya meninggalkan tempat tersebut. Menyambangi Pameran Pekan Kreatif Indonesia adalah agenda saya untuk mengisi akhir pekan kemarin dengan menggeret suami tentunya.
Dibaca dari nama eventnya saja tentulah sudah terbayang di benak kita apa isi pameran itu bukan?
Berbagai macam produk-produk yang membuat decak kagum dipamerkan disini. Mulai dari mobil hemat energi yang sebelumnya sudah saya lihat talkshownya di Kick Andy malam sebelumnya, hasil pengolahan limbah sampai produk nugget dan ice cream berbahan dasar jamur.
Tentunya event ini semakin menguatkan eksistensi bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kreatif. Seperti misalnya di salah satu booth yang memamerkan tas-tas yang bahan dasarnya dari limbah pasta gigi yang tidak disangka ternyata pengrajinnya adalah kaum manula, atau ada juga hasil karya anak-anak SMK yang memamerkan notebook yang mereka rakit sendiri.
Namun, untuk saya pribadi, kehebatan atas kreativitas anak negeri ini terasa ada yang kurang. Yaitu kurangnya kemampuan mereka untuk berkomunikasi. Jadinya, ya mayoritas hasil kreativitas itu hanya sebatas produk pajangan saja. Entah karena dalam mind set para partisipan ajang ini hanya sebagai ajang jualan semata yang kalau tertarik ada pembeli baru mereka jelaskan atau karena mereka sudah lelah karena Sabtu kemarin adalah hari kesekian mereka berpameran. Namun, apapun alasannya, tentunya informasi mengenai produk yang dibawa itu mutlak diperlukan.
Jika ditilik dari sisi harga, harga yang ditawarkanpun agak lebih mahal dibandingkan dengan pameran produk sejenis, sebut saja misalnya inacraft, ajang pameran tahunan yang dihelat untuk memamerkan produk kreatifitas. Hal ini juga yang saya dapatkan informasinya dari salah seorang teman dari Solo pemilik booth aksesoris berbahan tembaga. "Pameran ini tidak terlalu banyak pengunjungnya. Antusiasmenya juga kurang. Kalau dibanding inacraft atau pameran produk kreatif tahun lalu juga bedanya jauh". Mungkin hal inilah yang mendasari para peserta untuk tidak memberikan harga yang lumayan bersahabat di kantong.
Namun, apakah produk-produk kreatif harus diasosiakan dengan harga mahal? Pertanyaan ini pun menggelitik benak saya saat saya kemarin menyambangi pameran UKM di Smesco, Gatot Subroto Jakarta Selatan. Sebagai orang yang berwiraswasta dengan batik, memang saya rajin untuk berkunjung ke pameran-pameran serupa. Tujuannya adalah sebagai referensi pribadi. Dan ternyata kenyataan mengenai harga pun diamini di ajang ini. Batik printing yang biasa dijual di pengrajin dengan harga tidak lebih dari Rp. 50.000, di sini dijual dengan harga Rp. 300.000 (baiklah.. saya mengerti, pasti alasannya karena sudah masuk tempat bagus, ber AC, dijual oleh mbak-mbak cantik dengan make up maksimalis, ada iklannya, dsb, dsb) tapi apakah hal tersebut membuat ita harus merogih kocek sampai lebih dari 6x jika dibandingkan dengan beli langsung ke daerah asalnya?
Namun saya tetap setuju bahwa yang namanya kreatifitas memang harus dijunjung tinggi, dihargai dengan penghargaan yang pantas karena jika tidak, maka tidak ada lagi orang yang kreatif, lebih memilih menjadi plagiat dan akhirnya membuat bangsa tidak berkembang (tsaaahh.. kenapa jadi serius begini?)
Bagi saya dan suami, bangsa Indonesia tetap menjadi bangsa besar yang sangat kreatif.


Sebuah review serius dari seseorang yang suka nulis yang ga serius