Selasa, 29 Juni 2010

Terima Kasih Banyak Pak Pulisi ...

Jika ditanya ke saya, kejadian macam apa yang membuat saya mati gaya, maka jawabannya adalah jika harus berhadapan dengan polisi. Kalau ditanya alasannya kenapa pun, tidak bisa saya jawab. Syukur alhamdulillah untuk pengalaman urusan dengan polisi, masih bisa dihitung dengan jari (sebenarnya agak rancu juga istilah "masih bisa dihitung dengan jari", masalahnya dengan jari siapa? Apakah jari warga se RT juga bisa termasuk dalam hitungan? *bletak-ditimpuk gayung*).
Pengalaman pertama saya ketika harus berhadapan dengan polisi, itu tak membuat saya menjadi lebih pintar bagaimana harus menghadapi aparat.
Kejadian ini terjadi kira-kira sekitar 10 tahun yang lalu, yaitu saat saya masih kuliah dimana saat itu saya sedang getol-getolnya mengikuti kegiatan kemahasiswaan (wakss... sudah lama juga ya? jadi keliatan deh tuanya ^_*). Seperti biasa, saat sedang mengumpulkan dana untuk sebuah acara amal, saya bersama teman-teman melewati sekitaran Jl. Merdeka Barat. Karena saya tidak familiar dengan daerah tsb dan memang belum pernah menyetir di daerah tsb, maka saya membelok ke sebuah jalan yang lumayan sepi, mengikuti sebuah mobil sedan. Tiba-tiba, saya distop oleh polisi. Kontan pada saat itu saya panik, bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Maka saya turun ditemani oleh seorang teman saya yang sangat percaya diri (sebut saja namanya Ucup) dan terkesan sangat tahu bagaimana harus menghadapi para polisi itu. Sebelum turun dari mobil, Ucup ini sudah heboh sendiri. "Udah Wid, tenang aja, biar gw bantuin. Gampang. Lo bawa turun aja jakun (jaket kuning-jaket almamater kampus saya) skalian. Tar bilang aja, kita mo ktemu Bang Yos"
Mendengar hal tsb, teman-teman saya lainnya hanya tertawa dan hanya tinggal saya saja yang pasrah menghadapi nasib (pastinya akan tampak sangat aneh menghadapi polisi dengan berjakun, emang habis demo apa?)
Dari keterangan yang diberikan polisi, saya melanggar rambu dimana seharusnya ada tanda verboden di depan jalan artinya sebenarnya saya tidak boleh masuk ke jalan tsb. Karena saya masih bingung dan yakin bahwa saya tidak melihat rambu yang dimaksud, maka saya hanya diam saja dan si Ucup inilah yang aktif berdebat dengan polisi.
"Maaf pak, kita buru-buru nih pak, ditunggu Bang Yos mau rapat" (si Ucup dengan gaya soookkkknya pengen ditimpuk pake bola bekel)
Tampak saat itu pak polisi pun sudah mulai kesal dengan tingkah laku si Ucup ini. "Ya pokoknya adik-adik ini melanggar lalu lintas"
"Ya udah deh pak, damai aja, Bapak juga ga adil, masa tadi di depan ada mobil yang lewat, tapi cuma kita aja yang distop" (hadoooohhh rasanya saya ingin menyumpal mulut Ucup karena khawatir bukannya beres malah jadi repot).
"Mobil yang mana?Mobil sedan tadi?Itu kan mobil kedutaan mas" timpal pak polisi.
MasyaAllah.... jadi, yang kita ikutin itu mobil kedutaan?Pantesan aja.... Padahal yang dari awal ribut untuk mengikuti mobil tadi ya si Ucup juga...hufh.. tambah gondoklah saya. Walhasil saya harus mengurus tilang dan printil-printilan lainnya sendiri (Yap benar, SENDIRI, karena antara trauma sewaktu mengikuti anjuran si Ucup atau kesel karena Ucup ga mau bertanggung jawab atas segala kelakuannya). Oh ya, sebagai tambahan, tuh polisi marah karena kita dianggap mau nyogok polisi (kalau yang ini, saya gak berani komentar).
Pengalaman terbaru saya harus berurusan dengan polisi adalah kemarin. Dulu, saat saya masih bekerja dan berangkat bareng suami dari mulai naik motor sampai akhirnya naik mobil (ciechhh.. pamer sdikit ahhh.. -mbenerin baju), selalu melewati Jl. Saharjo dan belok kanan di bawah fly over menuju arah Jl. Gatot Subroto. Dan yang namanya pagi, selalu banyak teman jalannya, semuanya terburu-buru dan terakhir, selap-selip jadinya. Dan biasanya pula, kalau lampunya masih kuning, malah dinaikkan gasnya, pepet kendaraan depan, dan sssstt... salip kiri. Aman.
Nah hal itu pula yang kemarin saya lakukan. Tapi herannya, saat melakukan itu, saya masih sempat menengok spion dan terheran-heran, "Lho koq, ga ada yang ngikutin?"
Dan ternyata, taraaaa... muncul pak pulisi melambai-lambaikan tangan (dan memberikan sun jauh... hahahaha.. ya gak lah... mau disambit pake sumur?). Yak betul saya disuruh minggir. Kontan saja saya panik. Berbagai sumpah serapah pun mulai bermunculan.
"Selamat siang, mau kemana Bu?Kerja?" tanya pak polisi. Tak sadar sayapun menganggukkan kepala. "Kerja koq masuknya siang begini, kesiangan ya semalam habis bergadang nonton bola?". Tambah bete lah saya dikomentari demikian. Seperti biasa, dimintalah segala keperluan surat-surat sambil polisi itu mulai menceramahi saya betapa bahayanya kalau menerobos lampu merah. Saya yang yakin bahwa masih lampu kuning saat saya jalan sampai akhirnya saya menyerah saja dan hanya bisa pasrah mengangguk-anggukan kepala saja sambil berkata "maaf". Kemudian pak polisi tersebut mulai meneliti surat-surat kelengkapan kendaraan alias SIM dan STNK. Dan ternyata (drum please..) taraaaa....SIM saya mati alias sudah expired. Wah lengkaplah kesialan saya hari itu. Saya benar-benar lupa bahwa saya seharusnya sudah memperpanjang SIM tahun ini. Mulailah lagi pak polisi itu memberikan petuah-petuah. "Wah mbak ---turun niy derajatnya dari yang awalnya dipanggil "Ibu" sekarang dipanggil "Mbak". Kalo lupa itu biasanya 1 bulan, kalo 2 bulan apalagi ini mau 3 bulan namanya itikadnya udah ga baik" Saya sebenarnya agak bingung dengan pernyataan itu. Yang namanya lupa ya buat saya ya lupa. Mana pernah saya mengecek SIM kecuali, yaah kalau ada kejadian semacam ini. Makin lemaslah saya membayangkan berapa yang harus saya bayarkan. "Jadi maunya gimana niy mbak?" tanya polisi. Saya yang dari dulu tidak pernah tahu bagaimana cara menghadapi polisi ya hanya berujar, " Ya deh pak saya ngaku salah, terserah aja kalau ditilang, ". Si polisi ini tampak bingung menghadapi respon pasrah saya. "Nanti saya minta slip biru ya pak" ujar saya, disaat seperti itu saya masih mencoba untuk mengingat-ingat panduan jika distop polisi yang pernah saya baca. Dia melihat-lihat lagi SIM saya, "Mbak Widi Admiranti, rumahnya di JKT Timur ya.. Wah namanya sama niy sama nama istri saya". Mendengar ini saya hanya tersenyum-senyum hambar. Cengar-cengir gak karuan. "Ya udah deh jalan aja, ga saya tilang kali ini, tapi jangan nrobos lampu merah lagi ya!" Waks... serasa tak percaya mendengarnya. "Ya udah deh mbak jalan aja sana, tar bikin macet di sini," tambahnya.. Hah.. masih plonga-plongo kaya orang bego. Akhirnya dalam hati saya berteriak sekencang-kencangnya. "Yihaaa..". "Makasih pak.. makasih pak.. ya pak maaf.. gak ngulangin lagi pak.."ucap saya. Langsung saya melaju dengan cepat. Tapi hati kecil saya masih bertanya-tanya, kenapa ya saya tidak ditilang? Mungkin karena nama saya sama dengan nama istri si Bapak itu.. Takut kualat hihihi....
But eniwei... Many thanks to pak pulisi HW yang tugas di dekat patung gatotkaca lagi main bowling karena sudah membebaskan saya dari tilang.. Ampuuuunnn Pak, saya ngaku...

Minggu, 27 Juni 2010

Orang Indonesia Kreatif

"Wow", "Keren", "ck..ck..ck..". Ungkapan-ungkapan itulah yang tak henti-hentinya keluar dari mulut saya saat mulai masuk Jakarta Covention Center sampai akhirnya meninggalkan tempat tersebut. Menyambangi Pameran Pekan Kreatif Indonesia adalah agenda saya untuk mengisi akhir pekan kemarin dengan menggeret suami tentunya.
Dibaca dari nama eventnya saja tentulah sudah terbayang di benak kita apa isi pameran itu bukan?
Berbagai macam produk-produk yang membuat decak kagum dipamerkan disini. Mulai dari mobil hemat energi yang sebelumnya sudah saya lihat talkshownya di Kick Andy malam sebelumnya, hasil pengolahan limbah sampai produk nugget dan ice cream berbahan dasar jamur.
Tentunya event ini semakin menguatkan eksistensi bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kreatif. Seperti misalnya di salah satu booth yang memamerkan tas-tas yang bahan dasarnya dari limbah pasta gigi yang tidak disangka ternyata pengrajinnya adalah kaum manula, atau ada juga hasil karya anak-anak SMK yang memamerkan notebook yang mereka rakit sendiri.
Namun, untuk saya pribadi, kehebatan atas kreativitas anak negeri ini terasa ada yang kurang. Yaitu kurangnya kemampuan mereka untuk berkomunikasi. Jadinya, ya mayoritas hasil kreativitas itu hanya sebatas produk pajangan saja. Entah karena dalam mind set para partisipan ajang ini hanya sebagai ajang jualan semata yang kalau tertarik ada pembeli baru mereka jelaskan atau karena mereka sudah lelah karena Sabtu kemarin adalah hari kesekian mereka berpameran. Namun, apapun alasannya, tentunya informasi mengenai produk yang dibawa itu mutlak diperlukan.
Jika ditilik dari sisi harga, harga yang ditawarkanpun agak lebih mahal dibandingkan dengan pameran produk sejenis, sebut saja misalnya inacraft, ajang pameran tahunan yang dihelat untuk memamerkan produk kreatifitas. Hal ini juga yang saya dapatkan informasinya dari salah seorang teman dari Solo pemilik booth aksesoris berbahan tembaga. "Pameran ini tidak terlalu banyak pengunjungnya. Antusiasmenya juga kurang. Kalau dibanding inacraft atau pameran produk kreatif tahun lalu juga bedanya jauh". Mungkin hal inilah yang mendasari para peserta untuk tidak memberikan harga yang lumayan bersahabat di kantong.
Namun, apakah produk-produk kreatif harus diasosiakan dengan harga mahal? Pertanyaan ini pun menggelitik benak saya saat saya kemarin menyambangi pameran UKM di Smesco, Gatot Subroto Jakarta Selatan. Sebagai orang yang berwiraswasta dengan batik, memang saya rajin untuk berkunjung ke pameran-pameran serupa. Tujuannya adalah sebagai referensi pribadi. Dan ternyata kenyataan mengenai harga pun diamini di ajang ini. Batik printing yang biasa dijual di pengrajin dengan harga tidak lebih dari Rp. 50.000, di sini dijual dengan harga Rp. 300.000 (baiklah.. saya mengerti, pasti alasannya karena sudah masuk tempat bagus, ber AC, dijual oleh mbak-mbak cantik dengan make up maksimalis, ada iklannya, dsb, dsb) tapi apakah hal tersebut membuat ita harus merogih kocek sampai lebih dari 6x jika dibandingkan dengan beli langsung ke daerah asalnya?
Namun saya tetap setuju bahwa yang namanya kreatifitas memang harus dijunjung tinggi, dihargai dengan penghargaan yang pantas karena jika tidak, maka tidak ada lagi orang yang kreatif, lebih memilih menjadi plagiat dan akhirnya membuat bangsa tidak berkembang (tsaaahh.. kenapa jadi serius begini?)
Bagi saya dan suami, bangsa Indonesia tetap menjadi bangsa besar yang sangat kreatif.


Sebuah review serius dari seseorang yang suka nulis yang ga serius

Jumat, 25 Juni 2010

Online Shopping

Mungkin bagi beberapa orang, istilah ini sudah familiar, tepi bagi beberapa orang lainnya juga pasti akan mengernyitkan dahi saat mendengar istilah tersebut. Sama halnya seperti reaksi oma saya saat saya menjelaskan mengenai sistem bisnis yang tengah saya jalani sekarang ini.
Yap, saat ini saya sedang menggeluti bisnis online shopping yakni berjualan batik melalui internet. Selama beberapa menit saya harus menjelaskan dengan bahasa sederhana pada oma saya mengenai prinsip online shopping. Karena nada responnya masih terdengar seperti "ga percaya" dibandingkan "ga mudeng", jadi kalimat terakhir saya adalah "masih ga percaya ya oma?" (masih ga percaya disini adalah bukan masih ga percaya saya melakoni bisnis ini, tapi masih ga percaya dengan sistem yang berlaku). Tapi begini reaksi oma saya, "Oma bukannya ga percaya, tapi masih belum kebayang aja bagaimana bentuknya, wong teman-teman Oma saja yang punya bisnis ga pakai internet, barangnya masih bisa dipegang saja masih bisa kukut-kukut (tutup-bahasa Jawa) karena pelanggannya ga bayar" (sepertinya siy ini kombinasi antara ga mudeng dan ga percaya juga ya?)
Sejujurnya tidak pernah terbayangkan juga bahwa saya akan melakoni bisnis ini. Buat saya yang gaptek, dan masih kuno (dalam beberapa hal), yang namanya membeli barang ya berarti harus datang ke toko, memilih, memegang sendiri barangnya lalu bayar. Tapi voila!!! nasib berkata lain. Dengan bondo nekat dan pengetahuan ala kadarnya maka jadilah on line shopping mungil kami yang menyediakan berbagai macam batik warisan negeri. Menggunakan "kami" karena saya tidak sendiri. Ya, ini adalah usaha bersama 3 teman saya lainnya. Awalnya memang hanya iseng belaka karena kami punya misi yang sama, punya usaha dan sama-sama cinta batik.
Dan setelah setahun berlalu, usaha batik kami semakin lama semakin berkembang. Mungkin salah satu faktornya adalah karena saat ini batik memang sedang booming, entahlah karena memang kami memanfaatkan keadaan atau memang sudah rejekinya ada disini, ya kami nrimo (bukan sekedar nrimo saja tapi juga berusaha mati-matian -tssaaahhh...).
Bisnis online memang sedang trend. Tak hanya karena orang-orang saat ini sudah melek teknologi tapi juga sudah menikmati kenyamanan berbelanja melalui internet di masa semakin menjamurnya mall-mall di kota besar.
Bisnis online adalah bisnis kepercayaan. Hal ini sebenarnya yang dijual oleh pemain-pemain online shopping kepada pelanggannya. Bagaimana tidak? Secara logika saja, antara penjual dan pembeli tidak saling mengenal sebelumnya, kemudian deal melakukan transaksi, pembeli melakukan transfer sejumlah dana ke rekening penjual, dan barang terkirim. Bagaimana jika penjual berbohong? Bagaimana jika penjual tidak mengirimkan barangnya? Bagaimana jika apa yang sebelumnya dilihat pembeli di internet berbeda dengan aslinya?Bagaimana jika barangnya rusak? dan sejumlah bagaimana-bagaimana lainnya yang mungkin akan muncul di benak calon pembeli saat pertama kali mengalami sensasi belanja online. Syukur alhamdulillah sampai detik ini, kami belum pernah menerima komplain dari pembeli dan ini yang betul-betul kami jaga saat ini. Bahkan ada masanya ketika kami harus mengembalikan sejumlah dana kepada calon pembeli karena saat akan melakukan pengiriman, terdapat cacat pada barang tsb. Kami batalkan transaksinya dan beribu-riba kata maaf kami rangkai dengan seksama. Itu prinsip kami, lebih baik kehilangan 1 transaksi dibanding 1 pelanggan.
Selain melalui online, kami juga mengantarkan barang langsung ke pembeli (yang sebelumnya memang kami kenal melalui online). Buat saya pribadi, saya mendapatkan banyak sekali pengalaman yang sangat berharga. Semisalnya saat saya bertemu dengan seorang ibu yang pernah menjadi dubes di beberapa negara di Eropa. Banyak ilmu yang saya "curi" dari beliau. Dari beliau juga saya dapatkan testimoni kelebihan belanja online yaitu ada semacam perkumpulan pecinta batik yang awalnya bertemu di dunia maya, akhirnya kopi darat dan bahkan sering sharing antar mereka. Impian saya saat ini adalah saya dapat bergabung dengan mereka (errr... i hope- tidak perlu sebagai penjual tapi sebagai pribadi yang ingin banyak-banyak menimba ilmu). Sebagai tambahan informasi, meskipun memiliki hobi belanja melalui internet bukan berarti ibu ini tidak belanja secara konvensional. Mblasak-mblusuk pasar di Solo sampai menghadiri pameran perancang-perancang terkenal juga dilakoninya. *bravo-prok prok prok*
Sedangkan menurut salah seorang pelanggan saya lainnya, penjual di dunia maya ini rata-rata jujur (hadoooohhh.. mudah-mudahan kami -tetap menjadi- salah satunya). "Ya kalau ada cacat, mereka bilang, ga jadi juga ga papa" kutipnya. Yah itulah yang menjadi modal kami juga. Kepercayaan.
Siapa bilang belanja di internet itu transaksi dalam jumlah kecil dan tak seberapa? Tak jarang pula ada yang bertransaksi dalam nilai jutaan rupiah sekali transaksi *weleh-weleh ngeces*.
Saya sebagai pemain dalam bisnis online berharap bahwa ke depannya bisnis ini tidak seperti jamur alias musiman yang banyak kala hujan tapi tak muncul saat musim kemarau..
Mudah-mudahan....Amieeennn...

Kamis, 24 Juni 2010

Window Shopping

Yap!! Selalu identik dengan wanita. Tergantung tipe wanitanya juga siy. Ada wanita yang hobi dengan window shopping ada pula wanita yang hobinya menghilangkan kata window di depannya, alias shopping saja. Alasannyapun macam-macam. Bisa karena hobi, sekedar iseng semata atau bahkan sudah menjadi addict terhadapnya. Kalau saya pribadi, saya lebih cenderung ke wanita penghobi window shopping. Alasannya sederhana karena saya cukup terpuaskan hanya dengan melihat-lihat saja dan tak perlu sampai memiliki. Mungkin karena saya termasuk orang dengan paham cinta tak harus memiliki *bletak- dilempar mesin tik*.
Kecuali untuk item-item tertentu dimana saya sangat menginginkan suatu barang hingga terbawa mimpi, nah itu baru saya beli (tapi sepertinya harus dikonfirmasikan juga langsung ke suami saya, benarkah istrinya demikian?). Karena hobi pula yang mendasari saya untuk mencoba menjadi pengusaha batik. Jalan-jalan, melihat barang-barang baru dan syukur-syukur ada yang berminat membeli :)
Diantara teman-teman kantor saya (dulu), saya dikenal sebagai orang yang paling rajin "setor muka" ke mall. Minimal 1 minggu sekali terutama saat libur, pasti tujuannya gak jauh-jauh dari mall. Bahkan suami saya pun yang sebelum pacaran boro-boro ke mall, sampai akhirnya sekarang rajin menemani istrinya ini (karena terpaksa? sepertinya gak deh soalnya kalau belum ada inisiatif dari saya, pasti dia yang akan tanya duluan mau kemana hari ini)
Bicara mengenai window shopping, ada satu kebiasaan unik yang biasanya terjadi saat saya sedang menikmati hobi ini. Yang namanya window shopping pastinya gak jauh-jauh dari masuk toko, lihat-lihat, pegang-pegang, dikembalikan lagi barangnya, keluar toko (hmm... sebenarnya definisi window kan hanya melihat dari jendela etalase saja ya? entahlah.. tapi ini yang selalu terjadi pada saya. Siapa tahu setelah dipegang, lihat tag price cocok, jadilah shopping...*garuk-garuk meja*). Tapi seringkali setiap keluar dari satu toko, suami selalu komentar, "Koq ga jadi beli?Kenapa?" Satu dua kali siy ga masalah ditanya seperti itu, tapi kalau saban keluar toko ditanya seperti itu jadinya jengah juga. Dan percakapan seperti ini tidak hanya muncul pada percakapan antara kami saja, tapi juga ayah saya yang selalu menanyakan hal yang sama. Bahkan suami sepupu saya pun melakukan hal yang sama pula. Memang 3 sample tidak bisa ditarik kesimpulan secara general mengenai pria, tapi hal ini akhirnya membuat saya bertanya-tanya, apakah semua pria mempunyai prinsip yang sama? Saat masuk sebuah toko, artinya harus membeli sesuatu. Wah repot juga ya kalau seperti itu. Dan yang pastinya akan diuntungkan adalah si empunya toko. Lama-lama tak hanya tulisan "membuka kemasan berarti membeli" tapi juga "memegang barang berarti membeli". LOL

Who Am I?

Sama halnya seperti saat kita (saya, tepatnya) menghadapi pertanyaan ini kala sedang mengisi formulir lamaran kerja di beberapa perusahaan. Bukan begitu bukan?
Pertanyaan yang terkesan simple, tapi (akhirnya) mau tidak mau membuat kita mati kutu. Apakah kita bisa mendeskripsikan diri saya sendiri? Berdasarkan ilmu yang dulu pernah saya enyam di bangku kuliah, bagaimana kita mendeskripsikan diri sendiri adalah bagaimana cermin kita sebenarnya, termasuk penghargaan dari diri untuk kita sendiri dan orang lain memandang kita. Rather bit confused, huh? maksudnya adalah bagaimana cara kita memandang diri kita sendiri (hmm.. semakin runyam sepertinya).
Nah, sekarang bagaimana saya mulai mencoba mendeskripsikan diri saya sendiri. I am a housewife (definitely), not yet a mother, pernah selama beberapa tahun bekerja di beberapa perusahaan yang kebetulan membutuhkan jasa dan ide saya, dan saat saya sedang berada di "puncak"(sekali lagi puncaknya adalah berdasarkan definisi saya sendiri), saya banting stir dengan memutuskan resign dan secara total memberikan jiwa dan raga untuk mengurus keluarga (yang sangat kecil, karena kami belum dikaruniai anak, namun bahagia, amiieeennn..) dan sembari merintis usaha (kecil-kecilan namun selalu yakin at the end akan menjadi besar. Once again, amiiieeennn...) batik. Menjadi pengusaha lebih untuk memuaskan passion dan hobi (jika boleh mengutip sebuah judul buku yang sangat inspiratif karya Renee Suhandono, your job is not your career). Buku, yang menurut saya sangat inspiratif, tp mungkin bagi beberapa orang termasuk seorang teman, lebih cenderung pada provokatif. Namun, biar bagaimanapun pendefinisian sebuah hasil karya, tidak bisa dipaksakan bukan? Mengenai buku ini nantinya akan saya ulas dalam tulisan yang terpisah.
Balik lagi ke "Who Am I?", jika dari aktivitas keseharian sudah saya paparkan, maka dari segi personality saya coba ungkap juga. Orang yang sangat ambisius, itu adalah saya beberapa tahun sebelum ini, namun ambisius itu mulai menguap seiring dengan pertambahan umur dan pengalaman. Dari kejadian yang sudah-sudah, keambisiusan saya terkadang tidak sesuai dengan hasil yang didapatkan. Jadi, sejak mengalami beberapa kegagalan, saya coba untuk menjalani hidup apa adanya, tetap punya target tapi ga ngoyo dan alhamdulillahnya, saat berada dalam kondisi tsb, malah semua target2 saya dapat terwujud. Mungkin itu kuncinya, ga ngoyo.
Namun, apapun yang saya lakukan, intinya adalah saya selalu ingin membahagiakan keluarga saya. Buat saya, melihat kebahagian keluarga, tidak dapat tergantikan oleh segala kenikmatan manapun. Mudah-mudahan...

Prakata

Prakata, jika ditilik dari asal katanya, prakata terdiri atas 2 kata yakni pra dan kata. Sedangkan menurut definisi yang beredar di masyarakat *sama seperti definisi yang kita (saya) dapatkan saat sekolah dulu*, pra berarti sebelum dan kata (nah kalau yang ini saya agak bingung juga, bagaimana mendefinisikan kata dalam bahasa sehari-hari) mungkin bisa dianggap sebagai gagasan. Jadi, kesimpulannya adalah prakata, jika diterjemahkan berdasarkan definisi yang beredar di masyarakat adalah sebelum gagasan, alias sebelum penulis memberikan ide-idenya (yah begitulah sederhananya).
Sedangkan jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, prakata berarti keterangan (uraian, dsb) yang ditulis oleh penulis atau pengarang sebagai pengantar suatu karya tulis (buku, laporan, penelitian, dsb), mukadimah.
Namun, apapun definisinya, pada halaman permulaan ini sebenarnya hanya berisi paparan mengenai alasan saya membuat tulisan.
Karena dorongan (paksaan lebih tepatnya) dari suami. Dari sebelum menikah, sampai usia pernikahan saya menginjak tahun ke 3, suami saya selalu beranggapan bahwa saya bisa menulis (kalau sekedar menulis saja siy pastinya bisa *plak* tapi yang dimaksud disini adalah membuat tulisan yang berasal dari ide-ide tertentu mengenai sesuatu, itu yang menurut saya sendiri masih sulit (sekali lagi suami menyebut dengan ketidak-PD-an).
Meskipun background pendidikan pun berembel-embel "jurnalistik" pun tidak lantas membuat hati saya tergerak untuk menulis.
Lalu kenapa setelah sekian lama akhirnya saya pun memulai membuat tulisan ini?
Yang pertama adalah untuk memuaskan keinginan suami (again!!) hehehe.. yah tugas dan kewajiban istri kan, memuaskan suami (dalam hal apapun) :)
Selain itu, ini adalah tantangan buat seorang saya yang tidak pernah bisa untuk ditantang dan sebagai pembuktian ke diri sendiri akan kemampuan yang (mungkin) masih belum terasah.
Jadi, entri-entri yang akan muncul nantinya, bukanlah sesuatu yang berat, yang membuat orang yang membacanya harus mengernyitkan dahi. sesuatu yang simple, lebih pada opini (curhatan) pribadi dan mudah-mudahan fresh
Sebagai sebuah prakata, halaman ini tidaklah cocok karena tulisannya banyak dan panjang sekali. Namun, berhubung otoritas dipegang penuh oleh penulis, maka S4 alias suka-suka saya sajalah...
Yup..Last but not least, please enjoy it ... (please..please..please..)



Salam

seorang (calon) penulis