Kamis, 26 Agustus 2010

Menjadi Artis: Antara Bakat, Kebutuhan dan Kapitalisme Media

Waduh, dari judulnya saja koq terlihat berat ya? Tapi tenang saja, ini tidak seberat yang dibayangkan koq. Apalagi ini adalah tulisan seorang saya yang ga pernah membuat tulisan dengan tema yang membuat pembacanya mengernyitkan alis, membuat otak bekerja keras dan akhirnya malah buat persepsi sendiri-sendiri.

Sudah satu bulan ini kira-kira, keseharian kita (atau mungkin hanya saya ya?) dihebohkan dengan kemunculan dua orang remaja putri yang tampil secara lipsync yang direkam dan diunggah pada situs youtube. Ya bukan hal yang luar biasa memang, salah satu cara untuk menjadi tenar adalah dengan menggunakan fitur salah satu situs dunia maya ini. Sebelumnya, saya sudah mengetahui adanya video 2 anak balita asal Eropa (ini siy praduga saya dari aksen yang digunakan 2 anak unyil kakak beradik). Ya, video Charlie bit my finger, buat saya benar-benar sebuah tontonan yang menyegarkan kala sedang suntuk. Dari tampilan sederhana yang menggambarkan si adik yang menggigit jari kakaknya itu akhirnya mampu membuat mereka menjadi milyuner. Berkat kecerdikan ibunya yang mampu merekam kejadian sederhana (siapa siy diantara kita yang ga pernah digigit jarinya sama saudara kita sendiri? Tapi kenapa dulu kita ga pernah kepikiran untuk melakukan hal yang sama ya?), diunggah, menjual merchandise foto mereka dan mendapatkan keuntungan yang bukan recehan pastinya. Atau duo pria dengan dandanan “ajaib” asal Filipina (kalau ga salah, kalau salah mohon koreksinya ya-piss) yang menirukan gaya dan bernyanyi secara lypsinc lagu-lagu yang sudah tenar sebelumnya. Yang paling oke menurut saya adalah saat mereka menirukan lagu theme song “Marimar”. Ekspresi mereka “megang” banget (ini mengikuti istilah yang sedang trend sekarang hehehe), cara lypsinc yang pas banget sampai gerakan terompetnya mereka lakukan dengan sempurna. Itu artinya mereka memang sudah melakukan latihan sebelumnya (iya gak ya pakai latihan dulu?). Tapi buat saya yang paling berkesan pada video itu adalah ada seorang wanita yang sibuk memasak sebagai background mereka. Top markotop deh kalau boleh meminjam istilah pak Bondan.

Nah, balik lagi ke duet Sinta dan Jojo ini. Tidak dipungkiri lagi bahwa mereka akhirnya menjadi artis dadakan. Dari yang awalnya tidak tahu bahwa ada lagu Keong Racun beraliran koplo tarling yang sudah edar sebelumnya, sampai akhirnya lagu ini dinyanyikan kembali. Pun, di salah satu infotaintment ketika mereka diwawancara rencana ke depannya apa akan menjadi artis penyanyi, atau sinetron mereka tampak tidak siap menjawab dan hanya menjawab dengan “kita mungkin akan tetap lypsinc” (terus terang ketika mendengar jawaban demikian, sang presenter pun sepertinya tidak menduga akan mendengar jawaban yang amat sangat sederhana, terlihat dari ekspresi wajah yang tidak bisa digambarkan, hehehe yang ini no comment). Untuk kondisi seperti menjadi artis melalui youtube, bolehlah dikata ini karena faktor hoki, alias untung. Yah bayangkan saja, berapa puluh ribu orang yang sudah mengunggah ke situs ini (agak lebay gak siy jumlahnya?) tapi berapa yang akhirnya mampu menjadi buah bibir di masyarakat?

Kalau saya boleh mengutip dari ucapan seorang Addie MS pada salah satu episode Indonesia Mencari Bakat- salah satu acara pencarian bakat yang notabene nantinya akan diasosiasikan menjadi artis pula, bahwa menjadi seorang artis, dibutuhkan 3 hal yaitu bakat, ketekunan dan keberuntungan. Hal terakhir ini yang akhirnya membuat duet Sinta-Jojo, Moy moy palaboy ataupun si Charlie dalam video Charlie bit my finger menjadi artis.

Bagaimana pula dengan calon artis yang sedang berjuang melalui ajang Indonesia Mencari Bakat? Dari yang awalnya pesertanya (mungkin) puluhan ribu sampai akhirnya sekarang hanya tinggal hitungan jari, bukanlah perkara yang mudah pastinya. Sudah berapa kali mereka tampil di layar kaca? Dari yang awalnya kita tidak tahu siapa mereka sampai akhirnya sekarang mereka sampai sudah memiliki fans club sendiri. Untuk babak final ini saja misalnya, mereka tampil seminggu dua kali di akhir minggu, secara berurutan pula harinya. Pasti bukan hal yang kecil juga yang mereka harus persiapkan. Stamina, itu sudah pasti. Berapa performance yang harus ditampilkan setiap minggunya membuat saya secara pribadi mau tidak mau berdecak kagum mengenai persiapannya. Belum lagi secara kreatifitas. Saya bukannya membanding-bandingkan, atau membela salah satu atau salah dua peserta. Tapi yang namanya mempersiapkan konsep, gerakan yang harus dihafal dan pastinya memikat juri dan pemirsa bukanlah perkara yang mudah. Dan bisa dipastikan secara permodalan juga bukanlah hal yang bisa dianggap sebelah mata. Kostum menjadi salah satu bukti nyata bahwa modal yang dihabiskan juga tidak sedikit. Belum lagi isu modal pulsa yang selalu membayangi acara-acara serupa, dimana SMS menjadi penentu si calon artis tsb survive atau tidak. Perkara berbakat atau tidak pada akhirnya, itu menjadi pilihan pemirsa dan nantinya waktu pula yang akan menjawab melalui eksistensi mereka di jagad hiburan (oh nooo... bahasanya mulai tidak membumi)

Kenapa akhirnya saya menyertakan embel-embel kapitalisme media dalam judulnya? Ya.. karena pengen saja (hahaha.. jawaban ga mutu.. :p). Sudah jelas yang namanya artis, pastinya dicetak dari media. Betul bukan? Ambil contoh saja IMB, atau ajang-ajang pencarian bakat sejenis. Dengan iming-iming kontrak eksklusif dengan ajang tsb, tidak pelak lagi membuat banyak orang berbondong-bondong mendaftar dengan mencari peruntungan. Tampilnya mereka sebanyak satu minggu sekali selama berbulan-bulan, dari yang ratingnya mungkin tidak dilirik pemirsa sampai akhirnya menempati rating tertinggi mau tak mau menjadi magnet bagi produk-produk untuk beriklan pada acara tsb. Bahkan tak dipungkiri lagi terkadang kita selintasan melihat para pesertanya seakan dipaksakan menggunakan produk sponsor (dipaksakan dari segi waktu, tempat dan konsep menurut saya). Penampilan mereka yang agak “diforsir” (harus menampilkan 4 macam performance tap minggunya) membuat saya menjadi lebih yakin lagi bahwa mereka adalah objek. Meskipun mungkin ada embel-embel bahwa antara artis dengan media itu menggunakan paham simbiosis mutualisme, alias saling membutuhkan.

Namun tantangan para calon artis itu tidak hanya bagaimana mereka bisa menjadi tenar saat itu namun sebenarnya adalah bagaimana mereka sanggup eksis dalam dunia hiburan yang pemainnya sudah teramat sangat banyak. Sebanding juga memang dengan bayaran yang akan mereka terima setelah manggung. Sekali naik pentas bayarannya mungkin melebihi kerja karyawan biasa selama sebulan atau bahkan bisa berlipat-lipat jumlahnya.Wow !!!

Nah, kalau dulu anak kecil saat ditanya cita-citanya mayoritas ingin menjadi dokter, namun tidak untuk masa kini. Ingin jadi artis. Itu jawab anak-anak jaman sekarang. Antara menyalurkan bakat, tergiur dengan popularitas dan menjadi kaya dengan berlenggak-lenggok di layar kaca pastinya menjadi alasannya. Bukan suatu yang mengherankan, bukan? Bagaimana dengan anak anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar