Selasa, 29 Juni 2010

Terima Kasih Banyak Pak Pulisi ...

Jika ditanya ke saya, kejadian macam apa yang membuat saya mati gaya, maka jawabannya adalah jika harus berhadapan dengan polisi. Kalau ditanya alasannya kenapa pun, tidak bisa saya jawab. Syukur alhamdulillah untuk pengalaman urusan dengan polisi, masih bisa dihitung dengan jari (sebenarnya agak rancu juga istilah "masih bisa dihitung dengan jari", masalahnya dengan jari siapa? Apakah jari warga se RT juga bisa termasuk dalam hitungan? *bletak-ditimpuk gayung*).
Pengalaman pertama saya ketika harus berhadapan dengan polisi, itu tak membuat saya menjadi lebih pintar bagaimana harus menghadapi aparat.
Kejadian ini terjadi kira-kira sekitar 10 tahun yang lalu, yaitu saat saya masih kuliah dimana saat itu saya sedang getol-getolnya mengikuti kegiatan kemahasiswaan (wakss... sudah lama juga ya? jadi keliatan deh tuanya ^_*). Seperti biasa, saat sedang mengumpulkan dana untuk sebuah acara amal, saya bersama teman-teman melewati sekitaran Jl. Merdeka Barat. Karena saya tidak familiar dengan daerah tsb dan memang belum pernah menyetir di daerah tsb, maka saya membelok ke sebuah jalan yang lumayan sepi, mengikuti sebuah mobil sedan. Tiba-tiba, saya distop oleh polisi. Kontan pada saat itu saya panik, bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Maka saya turun ditemani oleh seorang teman saya yang sangat percaya diri (sebut saja namanya Ucup) dan terkesan sangat tahu bagaimana harus menghadapi para polisi itu. Sebelum turun dari mobil, Ucup ini sudah heboh sendiri. "Udah Wid, tenang aja, biar gw bantuin. Gampang. Lo bawa turun aja jakun (jaket kuning-jaket almamater kampus saya) skalian. Tar bilang aja, kita mo ktemu Bang Yos"
Mendengar hal tsb, teman-teman saya lainnya hanya tertawa dan hanya tinggal saya saja yang pasrah menghadapi nasib (pastinya akan tampak sangat aneh menghadapi polisi dengan berjakun, emang habis demo apa?)
Dari keterangan yang diberikan polisi, saya melanggar rambu dimana seharusnya ada tanda verboden di depan jalan artinya sebenarnya saya tidak boleh masuk ke jalan tsb. Karena saya masih bingung dan yakin bahwa saya tidak melihat rambu yang dimaksud, maka saya hanya diam saja dan si Ucup inilah yang aktif berdebat dengan polisi.
"Maaf pak, kita buru-buru nih pak, ditunggu Bang Yos mau rapat" (si Ucup dengan gaya soookkkknya pengen ditimpuk pake bola bekel)
Tampak saat itu pak polisi pun sudah mulai kesal dengan tingkah laku si Ucup ini. "Ya pokoknya adik-adik ini melanggar lalu lintas"
"Ya udah deh pak, damai aja, Bapak juga ga adil, masa tadi di depan ada mobil yang lewat, tapi cuma kita aja yang distop" (hadoooohhh rasanya saya ingin menyumpal mulut Ucup karena khawatir bukannya beres malah jadi repot).
"Mobil yang mana?Mobil sedan tadi?Itu kan mobil kedutaan mas" timpal pak polisi.
MasyaAllah.... jadi, yang kita ikutin itu mobil kedutaan?Pantesan aja.... Padahal yang dari awal ribut untuk mengikuti mobil tadi ya si Ucup juga...hufh.. tambah gondoklah saya. Walhasil saya harus mengurus tilang dan printil-printilan lainnya sendiri (Yap benar, SENDIRI, karena antara trauma sewaktu mengikuti anjuran si Ucup atau kesel karena Ucup ga mau bertanggung jawab atas segala kelakuannya). Oh ya, sebagai tambahan, tuh polisi marah karena kita dianggap mau nyogok polisi (kalau yang ini, saya gak berani komentar).
Pengalaman terbaru saya harus berurusan dengan polisi adalah kemarin. Dulu, saat saya masih bekerja dan berangkat bareng suami dari mulai naik motor sampai akhirnya naik mobil (ciechhh.. pamer sdikit ahhh.. -mbenerin baju), selalu melewati Jl. Saharjo dan belok kanan di bawah fly over menuju arah Jl. Gatot Subroto. Dan yang namanya pagi, selalu banyak teman jalannya, semuanya terburu-buru dan terakhir, selap-selip jadinya. Dan biasanya pula, kalau lampunya masih kuning, malah dinaikkan gasnya, pepet kendaraan depan, dan sssstt... salip kiri. Aman.
Nah hal itu pula yang kemarin saya lakukan. Tapi herannya, saat melakukan itu, saya masih sempat menengok spion dan terheran-heran, "Lho koq, ga ada yang ngikutin?"
Dan ternyata, taraaaa... muncul pak pulisi melambai-lambaikan tangan (dan memberikan sun jauh... hahahaha.. ya gak lah... mau disambit pake sumur?). Yak betul saya disuruh minggir. Kontan saja saya panik. Berbagai sumpah serapah pun mulai bermunculan.
"Selamat siang, mau kemana Bu?Kerja?" tanya pak polisi. Tak sadar sayapun menganggukkan kepala. "Kerja koq masuknya siang begini, kesiangan ya semalam habis bergadang nonton bola?". Tambah bete lah saya dikomentari demikian. Seperti biasa, dimintalah segala keperluan surat-surat sambil polisi itu mulai menceramahi saya betapa bahayanya kalau menerobos lampu merah. Saya yang yakin bahwa masih lampu kuning saat saya jalan sampai akhirnya saya menyerah saja dan hanya bisa pasrah mengangguk-anggukan kepala saja sambil berkata "maaf". Kemudian pak polisi tersebut mulai meneliti surat-surat kelengkapan kendaraan alias SIM dan STNK. Dan ternyata (drum please..) taraaaa....SIM saya mati alias sudah expired. Wah lengkaplah kesialan saya hari itu. Saya benar-benar lupa bahwa saya seharusnya sudah memperpanjang SIM tahun ini. Mulailah lagi pak polisi itu memberikan petuah-petuah. "Wah mbak ---turun niy derajatnya dari yang awalnya dipanggil "Ibu" sekarang dipanggil "Mbak". Kalo lupa itu biasanya 1 bulan, kalo 2 bulan apalagi ini mau 3 bulan namanya itikadnya udah ga baik" Saya sebenarnya agak bingung dengan pernyataan itu. Yang namanya lupa ya buat saya ya lupa. Mana pernah saya mengecek SIM kecuali, yaah kalau ada kejadian semacam ini. Makin lemaslah saya membayangkan berapa yang harus saya bayarkan. "Jadi maunya gimana niy mbak?" tanya polisi. Saya yang dari dulu tidak pernah tahu bagaimana cara menghadapi polisi ya hanya berujar, " Ya deh pak saya ngaku salah, terserah aja kalau ditilang, ". Si polisi ini tampak bingung menghadapi respon pasrah saya. "Nanti saya minta slip biru ya pak" ujar saya, disaat seperti itu saya masih mencoba untuk mengingat-ingat panduan jika distop polisi yang pernah saya baca. Dia melihat-lihat lagi SIM saya, "Mbak Widi Admiranti, rumahnya di JKT Timur ya.. Wah namanya sama niy sama nama istri saya". Mendengar ini saya hanya tersenyum-senyum hambar. Cengar-cengir gak karuan. "Ya udah deh jalan aja, ga saya tilang kali ini, tapi jangan nrobos lampu merah lagi ya!" Waks... serasa tak percaya mendengarnya. "Ya udah deh mbak jalan aja sana, tar bikin macet di sini," tambahnya.. Hah.. masih plonga-plongo kaya orang bego. Akhirnya dalam hati saya berteriak sekencang-kencangnya. "Yihaaa..". "Makasih pak.. makasih pak.. ya pak maaf.. gak ngulangin lagi pak.."ucap saya. Langsung saya melaju dengan cepat. Tapi hati kecil saya masih bertanya-tanya, kenapa ya saya tidak ditilang? Mungkin karena nama saya sama dengan nama istri si Bapak itu.. Takut kualat hihihi....
But eniwei... Many thanks to pak pulisi HW yang tugas di dekat patung gatotkaca lagi main bowling karena sudah membebaskan saya dari tilang.. Ampuuuunnn Pak, saya ngaku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar